Malam ini, di suatu malam yang tidak berteman dengan rembulan dan bintang – gemintang. Aku duduk seorang
diri dalam sebuah keramaian di antara mesin – mesin foto copy yang terus
menjalankan tugasnya dengan tanpa lelah. Rasa capek dan dahaga serasa menjalari
tubuhku yang ringkih karena memikirkan sidang skripsiku yang kurang dalam
hitungan hari. Masih lebih dari 12 jam sih,
tapi gak lebih dari hitungan sehari
semalamnya sebuah ketetapan hukum sunnatullah yang telah tergariskan.
Aku duduk di atas sesuatu yang mirip dengan sofa di rumahku, meski terlalu
kecil untuk bisa disebut sofa dan terlalu jelek lah untuk bisa disepadankan
dengan sofa di rumahku. Kalau di rumah, aku bersyukur memiliki sofa – sofa yang
nyaman secara lahir dan batin di dalamnya. Aku bersyukur memiliki keluarga yang
sangat mengayomi dan mendukung setiap langkah – langkah kakiku dalam melangkah
untuk menggapai bintang – gemintang di sepenuh langit yang hebat. Aku
bersyukur. Aku bersyukur dengan semua apa yang terjadi. Aku bersyukur dengan
semua pemberian-Nya. Ku yakin apa yang kumiliki dan tidak kumiliki saat ini
adalah yang terbaik bagiku. Meski kadang aku masih terlalu bingung dengan
kehendak-Nya. Betapa tidak, terkadang apa yang ku impi – impikan bakal terwujud nyata dalam kehidupanku,
ternyata Dia berkehendak lain. Ah, jalani aja
semuanya dengan hati riang. Tapi kemudian aku jadi teringat juga dengan kata –
kata seorang teman, mimpi, emosi dan kasih yang bersatu dalam pikiran
terdalamku, man purpose, God dispose.
Manusia berencana, Tuhanlah yang menentukan.
Biasanya tempat foto copynya tidak seramai ini. Tapi sekarang, malam ini
seperti malam yang menghimpit diriku dengan segala keangkuhannya. Aku takut
setakut – takutnya jika naskah skripsiku malam ini belum selesai kugandakan
menjadi tiga bagian yang sama. Aku takut jika besok aku gak jadi disidang karena naskah belum ada. Aku takut setakut –
takutnya. Aku gelisah segelisah - gelisahnya. Lagi – lagi aku takut setakut –
takutnya.
Bukan hanya ketakutanku akan ketidaklulusan. Bukan hanya kecemasanku akan
kegagalan esok hari yang masih menyisakan kejanggalan. Bukan hanya kepedihanku
akan ketidaknyamanan yang mendera hatiku selama petang menjelang. Bukan hanya
itu. Lebih dari segala, aku mengalami suatu rasa yang baru terdefinisikan
dengan jelas sejelas – jelasnya baru – baru ini. Masih terlalu baru untuk bisa
kulupakan dengan cepat secepat – cepatnya. Masih terlalu hangat dan melekat di
jiwa yang tersengat. Rasa yang harus segera ku kubur dalam sedalam – dalamnya.
Rasa yang harus ku pendam kuat sekuat – kuatnya. Rasa yang harus ku tutup rapat
serapat – rapatnya.
Tapi langsung ku tepis semua kegelisahan, keraguan, kebimbangan dan segala
sesuatu yang membuatku menjadi tidak nyaman dengan diriku sendiri. Ku tepis
semua rasa putus asa yang menghampiriku dengan jauh sejauh – jauhnya. Ku tepis
semua rasa yang terus melandaku dalam gelapnya malam ini dengan kekuatan penuh
dan segera ku ganti dengan asa pasti yang telah terpatri di hati. Ku ganti
kebimbanganku dengan rasa percaya diri. Ku ganti keraguanku dengan semangat
berapi – api. Ku ganti. Ya, ku ganti semua kehitaman langit yang tak berbintang
dengan terangnya siang hari yang menikmati tarian sang raja siang.
Aku masih punya Allah. Aku masih
punya harapan. Aku masih punya Allah. Aku masih punya secercah terang. Ku yakin
seyakin – yakinnya Dia bakal memberikan
yang terbaik buatku. Ku yakin seyakin – yakinnya Dia bakal memberikan surprise terindah
saat aku senantiasa berusaha mendekap-Nya dengan sepenuh nafasku. Dia yang
selalu mengawasiku pasti akan menolongku saat aku dalam keterjepitan. Dia pasti
selalu ada untukku untuk kini dan selamanya. Dia pasti ada di sampingku saat
aku membutuhkannya dengan butuh sebutuh – butuhnya. Ku yakin tidak hanya saat
aku masih bisa membuka mata dengan terang seterang - terangnya, tapi hingga aku
telah menutup mata dengan damai sedamai – damainya..............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar