Bangil, itulah kata yang sempat terbersit di pikiranku saat ini. Sebuah kata
yang terlalu istimewa untuk diucapkan oleh mulut orang - orang yang tidak
pernah dibasuh oleh pahit getirnya kehidupan yang mewarna rona – rona pelangi
yang menyisakan rasa sakit teramat perih. Bangil, sebuah kota yang menjadi saksi
akan diriku selama ini mulai dari aku menghembus dan menarik nafas – nafas
pertamaku hingga sekarang aku mulai melangkahkan kaki – kaki lemahku dengan
tiada mengenal lagi arti dari kesedihan karena ditinggal oleh burung – burung
yang beriringan di awan – awan untuk segera kembali ke sarangnya semula.
Bangil, sebuah kota kecil yang pernah, telah dan masih menyimpan sejuta,
semilyard dan setriliun kisah – kisahku yang terlukis di kanvas – kanvas
kehidupan dan bisa menceritakan alur cerita yang sangat sempurna. Penuh corat –
coret berarti dan makna yang mendalam. Bangil, satu kata yang mengandung
butiran – butiran tasbih cintaku kepada-Nya. Bangil, disanalah aku kembali
mengenal hakikat penciptaanku untuk benar – benar menghamba hanya kepada-Nya
sejak pertama kali aku mengikrarkan diri dan bersaksi di zaman azali bahwa Dia adalah Tuhanku untuk
masa sepanjang masa yang tak berbatas
ruang dan waktu. Bangil, itulah kota kelahiranku dan tempat bertemunya kedua
orang tua tercintaku untuk pertama dan terakhir. Bangil, disanalah pertama
kalinya nyawaku ditiup oleh-Nya untuk dihembuskan ke rahim ibuku tercinta.
Bangil, yach Bangil........... Sebuah
kota kecil yang sekarang di umurku yang sudah tidak anak – anak lagi, aku
mengenal sebuah perjuangan dakwah seperti dahulu yang pernah digariskan oleh
Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Sebuah jalan yang penuh lika – liku dan
duri – duri tajam yang siap menjegal kaki siapa saja yang belum dan tidak siap
berjalan di atasnya. Semoga aku kuat ! Bangil, di umurku yang sudah seperempat
abad ini aku menjadi semakin sering mengikuti jejak – jejak pemimpin besarku.
Mengikuti langkah – langkah kaki penuh keberanian untuk menantang setiap orang
– orang yang menghalangi sampainya cahaya Allah ke rumah – rumah setiap insan
manusia. Allah Tuhanku. Allah sesembahanku. Tiada yang berhak membuat hukum
selain-Nya. Itulah keyakinanku saat rambutku mulai ada yang sudah tidak hitam
lagi. Bangil, disana juga lah aku mulai mengenal memori, mimpi, dan emosi yang
bersatu untuk menghantam diriku dengan kekuatan terdahsyatnya. Sebuah kekuatan
yang aku tidak berdaya melawannya hingga sekarang sampai - sampai aku berusaha
untuk menghapusnya dengan bersih
sebersih – bersihnya. Tapi aku masih belum bisa menghapus jejak tinta itu dengan
penghapus untuk pensil. Bangil, aku mencintaimu dalam kebencianku untuk segera
menjauh meninggalkanmu. Bangil, kota tempat aku mulai mengerti akan kesakitan –
kesakitan terdalam akibat bunga yang menyembunyikan harum mewanginya dariku.
Sebuah bunga yang ternyata telah terpetik sempurna sesempurna – sempurnanya
oleh kumbang yang baru ku kenal. Padahal aku telah mengenal bau wangi bunga tersebut
beserta tangkai sampai ke akar – akarnya sejak aku baru menginjakkan kaki di
tanah yang telah dilewati oleh Rasulullah dan para ksatria terpilihnya. Bangil,
sebuah ruang yang berdimensi multi warna dan menyelimuti langit – langit rasa
di jiwaku yang terdalam. Bangil, sebuah tempat yang sudah tidak asing lagi
bagiku karena setiap hari aku selalu berdiri kokoh di atas punggungnya. Bangil,
ohh Bangilku tercinta. Bangil, sebenarnya aku tidak ingin meninggalkanmu jauh
ke seberang lautan yang bahkan aku belum pernah kesana. Kau sudah terlalu
nyaman meninabobokkan aku hingga tertidur pulas bersprei rajutan – rajutan
kasih sayang orang – orang yang kucintai. Bangil, sebenarnya aku tak tega meninggalkanmu saat aku masih
membutuhkan tangan – tangan yang siap berjuang denganku untuk menuntaskan visi
tertinggi kehidupan, yaitu hidup hanya untuk Allah, Rasul-Nya dan perjuangan
untuk menegakkan Syariah Islam secara kaffah
di muka bumi ini. Ya, Islam agamaku dan aku bangga menjadi sosok pribadi
Muslim. Aku bangga menjadi pejuang – pejuang di jalan-Nya yang senantiasa
berusaha untuk meninggikan liwa dan roya Rasul-Nya. Bendera kita juga orang
– orang Muslim di seluruh dunia dan bendera yang bisa mengikat setiap darah –
darah Kaum Muslimin menjadi satu di dunia dan surga. Bangil yang penuh dengan
sahabat – sahabat sejatiku yang melebihi dari darahku sendiri. Bangil, ohh
Bangilku tercinta.............
Kegelisahan yang remeh menimpaku keras dan menyingkap semua kelemahan dalam
jiwa terhalusku. Setiap kali aku belum beranjak dari sini, setiap itu pula aku
masih merasa was – was. Setiap kali
ketidaksengajaanku menemukan diriku yang sebenarnya dalam diri yang terlalu
rahasia bertemu dengan memori terindahku, maka setiap waktu itu aku menjadi
gila kembali. Bukan gila karena-Nya, tapi gila karena sesuatu yang remeh
seperti pernah terungkap di dinding – dinding hatiku yang patah.
Di rumahku masih penuh dengan coretan mimpi itu. Tapi abstrakku menulis
aku. Kalau di tempatku mengkaji hujan – hujan yang selalu turun ke bawah perut
bumi lengkap dengan semua rahasia di dalamnya, aku selalu kaget sekaget –
kagetnya. Tau kenapa ? tanganku menjadi terluka dan berdarah lagi karena
terkena duri – duri mawar yang secara tidak langsung hatiku ingin menancapkan
diri kepadanya. Aku terluka lagi. Sakit sesakit – sakitnya.
Tarian dedaunan pohon belimbing berjajar tiga dan lambaian daun – daun
pisang yang meliuk – liukkan tubuhnya untuk menggodaku dan berusaha menetralkan
racun dalam darahku ternyata tidak mampu mengalahkan dan mengalihkan fokus dan
perhatianku kepada merah pekatnya mawar.
Masih tentang keremehan – keremehan yang menyesak dada dan puisi – puisi
banci yang kehilangan arti. Masih tentang hal – hal yang menjatuhkan diriku
hingga terjun bebas tanpa parasut. Masih tentang kontemplasi yang dibajak oleh
kelemahan diri dalam memandang arti yang tiada berarti. Masih tentang itu.
Aku masih dengan kesendirianku dan keegoanku untuk menantang badai kejam yang
menghampiri dan berusaha meremukkan seluruh tulang – tulang persendian.
Berteman dengan bayang – bayang fatamorgana. Mendesirkan luka dan rasa yang
perih tiada terkira.
Bangil, oh Bangilku tercinta. Bukan hanya di bawah rindangnya pohon
belimbing yang berumur cukup tua. Bukan hanya di balik kisah segarnya air di
tubuh pohon – pohon pisang yang mengerubuti diri dengan air telaga suci. Bukan
hanya itu. Bukan hanya disitu. Tapi di semua tempat yang sedang terlewati oleh
aroma mawar merah yang selalu melangkah dengan pasti. Hijau melukis merah
membara yang baru ku jumpa. Ungu tersipu menuju coklat mentah yang termakan
usia. Warna – warna yang pernah dan baru ku tau adanya. Semuanya. Semuanya
menyisakan luka dan tentu luka akan bertambah parah dan menganga saat jiwa menggenggam bunga dalam satu wadah bejana masa
antara ruang, waktu dan kalbu.
Aku ingin mengubur hatiku, diriku dan bayang – bayang itu jauh ke dasar
inti pusat alam semesta. Melupakan semua kisah yang pernah menderaku dengan
buaian – buaian semilir angin yang mendamaikan sesaat di jiwaku. Saat memori,
mimpi dan emosi menjadi satu keterikatan rantai yang terlalu kuat untuk ku jebol, saat itulah aku ingin segera melepaskan
semua jeruji – jeruji besi yang mengekangku dengan hitam dan putih memori itu.
Aku ingin jauh sejauh – jauhnya meninggalkan bumi yang pernah terlewati jejak –
jejak kaki suci bidadari dunia yang sempat bersarang di jiwaku.
Aku ingin terbang tinggi dan meniadakan tanah – tanah di bumi yang telah
terkontaminasi oleh aroma wangi pembuka perih kembali. Bersatu dengan Sang
Sejati untuk kembali menemukan bidadari yang masih berdiam diri di surga.
Semoga aku bisa menjemputnya dengan iman dan ilmu yang telah dititipkan-Nya
kepadaku. Semoga aku bisa menjemputnya di penantian terakhirnya. Semoga aku
bisa segera mendekapnya dengan selimut cinta kasih sayang Rabb Sekalian Alam. Atau dia datang ke hatiku dengan cahaya dan
sinar terang-Nya. Datang dengan petunjuk Sang Pemberi Bentuk. Datang dengan
keikhlasan untuk saling berbagi suka maupun duka. Datang untuk menyempurnakan
tulang rusuk yang masih hilang entah kemana. Datang untuk mengobati semua perih
dan luka parah di jiwa untuk digantikan dengan asmara penuh kedamaian jannah dengan segala ridho-Nya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar