Siang ini, saat mentari kembali menunjukkan kegagahan dan kepongahannya.
Saat sang surya mengibaskan pesona kejantanan yang mempesona. Saat langit
beratapkan awan yang berbaris rapi dengan diiringi alunan merdu suara dari
langit. Saat inilah aku seorang diri di dalam sebuah musholla kecil yang penuh
kelembutan dan kedamaian dunia.
Jari – jemariku mulai menjalankan tugasnya lagi dengan menggoreskan pena
kesejatian yang telah lama belum tergarap secara sempurna. Berteman dengan
stereo mini amplifier yang dipadu dengan mic kecil yang biasanya dijepitkan ke
kerah baju dan beberapa Al-Qur’an usang dan baik yang telah menjadi satu.
Terikat satu sama lain. Aku pun sama, terikat oleh suasana yang membuat aku
semakin betah berada disini.
Siang ini, aku sengaja tidak menginjakkan kaki terlebih dahulu ke rumah
orang tuaku karena tidak ada makanan disana. Toh saat ini aku juga sedang
menahan lapar dan haus seharian selama sebulan penuh. Ya, aku sedang berpuasa
di bulan penuh berkah dan rahmat. Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
tersimpan berjuta makna dan rahasia keagungan Dzat Sang Penggenggam Langit dan
Bumi. Dia juga yang aku berada dalam genggaman tangan keperkasaan dan
kedigdayaan-Nya.
Sengaja memang, setelah setengah hari menghabiskan pengabdian di sekolahan
tempatku bekerja sekaligus menimba ilmu dan mengalirkannya kembali ke murid –
muridku, aku tidak langsung pulang. Aku malas pulang, seperti yang telah
terlintas sebelumnya. Aku sekarang lagi menunggu tugas yang mulia untuk
membagikan Al-Islam, semacam buletin mingguan dari Hizbut Tahrir yang menjadi
partai politik Islam Ideologis internasional dan terbesar di seluruh dunia. Ya,
biasanya isi Al-Islam itu membahas seputar kedzoliman penguasa yang ada saat
ini, mungkin juga menceritakan kejadian di dunia internasional, atau pernah
juga mengupas dan mengiris kecil – kecil masalah ibadah – ibadah sehari – hari
yang terkadang juga membongkar sekat – sekat kebengisan, kebejatan dan
keangkaramurkaan penjajah mereka, kaum muslimin. Siapa lagi kalau bukan amerika
dan sekutunya yang berideologi kapitalisme sekuler dan anak – pinaknya. Sengaja
amerika ku tulis dengan huruf kecil meski dalam kaidah Ejaan Yang Disempurnakan
seharusnya besar. Aku tidak peduli. Kalau mengingat – ingat perlakuan amerika
kepada saudara – saudaraku yang se-iman dan se-aqidah, rasanya aku ingin
sesegera mungkin memenggal seluruh pemimpin amerika dan kroni – kroninya di
sepanjang garis pantai di seluruh dunia yang bisa dijangkau oleh indraku ini.
Ingin rasanya aku mencabik – cabik dan menguliti muka – muka mereka seperti
halnya mereka telah menginjak – injak dan mencabik – cabik harga diri dan
kehormatan saudara – saudaraku. Sudah tak terkira lagi perasaan yang ingin ku tuangkan
dalam beberapa lembar kertas yang sengaja ku goreskan dengan tinta sang suryaku
ini tentang kebencianku pada amerika dan begundal – begundal iblis yang semoga
dilaknat oleh Sang Penguasa Jagat Raya. Amin !!
Kalau sekarang, bagian tubuh dari buletin itu mengandung darah – darah yang
mengalir deras di setiap sel – sel yang bisa ditembus oleh merahnya darah ,
darahnya merah dengan bertuliskan “Penerapan Syariah Islam, Selamatkan Remaja
dari Kenakalan dan Kriminalitas”. Ya, itulah tema besar yang dibahas kali ini.
Sebuah tema yang sangat tepat jika dikaitkan dengan kondisi carut – marutnya
negeri ini dengan segala pernak – pernik yang menghiasinya. Sebuah tema yang
tentu jika kita sebagai orang yang beradab tentulah akan merasa miris seakan
kulit dan otot – otot tubuh teriris – iris dan tercabik – cabik taring singa si
raja hutan yang sedang kelaparan dan haus akan kekuasaan hutan yang hendak
dirajainya.
Tema kali ini mengangkat fenomena yang berkembang di tengah masyarakat
dewasa ini dengan cepatnya perputaran waktu yang terkadang kita tidak pernah
sempat bisa menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mengamati kejadian apa saja yang
terjadi, sehingga tau – tau ternyata kita telah kehilangan informasi berharga
seberharga intan yang baru ditemukan di dasar lautan lepas dan kita sudah
terlambat untuk menggaetnya kembali karena tangan lemah kita sudah tak kuasa
mengambil barang yang telah lama pergi jauh meninggalkan kita.
Sungguh kasus yang sudah menggurita bak ramainya genangan air di seantero
jagad raya ketika musim hujan telah tiba. Kisah anak yang sudah berani melakukan
tindakan di luar kewajaran yang bisa dilakukan oleh akal sehat manusia normal.
Penghilangan nyawa yang tidak berhak dan belum berhak hilang nyawa dilakukan
dengan sadar sesadar – sadarnya. Penghilangan kehormatan yang harusnya dijaga
dan dirawat dengan baik sebaik – baiknya malah dimakan dengan rakus dan tidak
beradab. Banyak lagi masalah yang seakan menjadi fenomena gunung es yang
sewaktu – waktu bisa meledakkan dirinya sendiri dan memuntahkan lahar panas
yang bisa mengenai semua orang dan seluruh makhluk hidup dan mati di semua
permukaan dan di bawahnya bumi dan langit beserta isinya.
Tentulah dan sudah barang tentu sudah menjadi sebuah ketentuan yang sudah
tentu semua persoalan di atas dan ditambah dengan semua kompleksitas
permasalahan yang pernah ada, sedang ada dan akan ada di dunia fana ini harus
dibabat habis dan diselesaikan sampai ke akar – akarnya dengan hanya oleh
Syariat yang baik dan memuaskan akal serta menentramkan jiwa yang bersumber
dari Dzat Yang Maha baik.........
Aku mau berangkat dulu ke masjid di seberang jalan raya di depan musholla
kecil tempatku melancarkan strategi – strategi untuk membangun peradaban umat
ke depan menjadi lebih baik lagi dengan dinaungi oleh awan keridlaan dan kelembutan Tuhanku, Tuhanmu dan
Tuhan kita semua yang saat ini masih hidup , mau hidup dan sudah hidup di dunia
yang penuh fana dan kegersangan hakikat Ilahiyah. Tuhan kita semua yang kita bisa
bernafas atau tidak pernah bisa bernafas sama sekali. Baik yang di darat, laut
atau udara. Baik yang terindra atau hidup di antara indra – indra yang saling
mengindra.
Aku mau berangkat untuk melaksanakan sholat Jum’at dengan para saudaraku
yang lebih dari sekedar darah merah. Sungguh indah dan menentramkan hati jika
bisa bersua dan menyatu dalam ruh Ilahiyah di dalam bangunan kokoh tak
terbendung untuk sama – sama memuji dan menghamba kepada Dzat yang Esa. Esa
dalam segala. Esa dalam semua. Esa dalam apa dan mengapa..............
Masjidnya terasa begitu menyejukkan di tengah kering kerontangnya hawa
panas membara mendekap jiwa yang lemah. Masjidnya terletak tepat di seberang
jalan yang sedang ramai kendaraan roda dua, tiga, empat dan banyak roda lagi
yang saling membalap untuk mengejar sesuap nasi yang sebenarnya telah pasti.
Aku pun juga sama, sedang berbalap liar dengan kawan – kawan seperjuangan di
jalan dakwah untuk menggapai surga tertinggi dan terindah yang pernah ada.
Surga yang sengaja di buat oleh Tuhanku untuk dipersembahkan dan dibuka bagi
hamba – hamba-Nya yang selalu berlari kepada-Nya. Semoga aku bisa mendapatkan
itu, meski hanya satu. Aku merasa utuh. Terpenuh seluruh.
Ku ambil air suci tanpa noda dan debu – debu jalanan yang sempat
menghampirinya di sebelah musholla kecilku yang kugunakan untuk berwudhu
sebagai persiapanku dalam melaksanakan ibadah sholat Jum’at. Sengaja ku ambil
air wudhu di kamar mandi samping musholla yang dingin dan sepi karena biar
nantinya kakiku langsung melangkah menaiki tangga masjid dengan tanpa menyentuh
kembali air di kamar mandi masjid tersebut. Langsung bisa berhadap penuh harap
kepada Sang Penguasa Jagad.
Langsung ku meluncur tanpa roket dan sayap – sayap yang biasanya dipakai
oleh burung untuk menjelajahi angkasa. Bukan pula mengepakkan sayap – sayap
patahku. Karena meski patah, aku jelas tidak punya sayap seperti yang dimaksud.
Ku pinjam sandal ke tetangga sebelah musholla biar bisa ku pakai untuk melindungi
kakiku yang terlalu sayang jika terkena duri – duri yang tidak bertanggung
jawab dan segera menghilang dalam keremangan lentera.
Setelah semua proses telah terlalui, aku langsung meluncur ke masjid
tersebut dengan tidak lupa membawa buletin yang sedang menanti untuk ku
sebarkan ke saudara – saudaraku se-iman. Ada sekitar seratusan lembar buletin yang
telah siap berperang bersamaku melawan penjajah amerika dan anak buahnya. Ada
sekitar seratusan buletin yang siap bahu – membahu bersamaku dalam membangunkan
umat Islam yang telah tertidur dengan sangat lelap sekali hingga sengatan
mentari pun tidak mampu membangunkan mereka. Perlu kerja keras dan usaha
sungguh – sungguh untuk menyadarkan mereka dari lamunan tanpa arah dan tanpa
batas. Dari buaian mimpi yang tidak pernah jadi nyata. Dari angan – angan
kosong yang tersusupi ide – ide sesat dan menyesatkan. Ide sekulerisme,
demokrasi, nasionalisme, chauvinisme, patriotisme, materialistik, sinkretistik,
sosialisme dan ide – ide busuk sebusuk - busuk lainnya. Kerdil sekerdil –
kerdil lainnya. Nista senista – nista lainnya.
Sebuah ide, atau bertahun ide menyesak jiwa dan dunia. Membuat polusi tak
terhingga, tak terperi, tak terbayang dan tak terpikir kerusakan yang terlalu
serius sehingga mau tidak mau kalau ingin sembuh dan tidak menular harus segera
di potong, diamputasi, digorok dan di sayat sampai habis tak tersisa. Benar –
benar habis sehabis habisnya hingga tidak pernah lagi bisa dikenal dan ditemui
di pinggir – pinggir jalan dan di tengah – tengah pusat keramaian kota. Sebuah
ide yang ternyata membuat dunia menjadi terbalik cerminan neraka sesungguhnya
terjadi. Sebuah ide yang mampu membuat aku dan saudara – saudaraku terpisah
sangat jauh melewati samudera atlantik menuju lautan es antartika hingga tak
bisa betemu dan mengucapkan hello barang sedetik pun. Sebuah ide yang ....................
Kembali kepada alur yang hendak ku rangkai dengan kekuatan ruhiyah yang
terhembus sempurna melewati dada yang penuh dengan cinta Ilahiyah. Kembali
kepada benang merah inti rantai yang hendak kujulurkan panjang sepanjang –
panjangnya. Megah semegah – megahnya. Jelas sejelas – jelasnya hingga seluruh
penghuni langit dan bumi menjadi tidak bertanya – tanya lagi. Kembali pulang ke
rumah keabadian dengan melupakan luka lara yang teramat parah. Luka akibat
nasionalisme. Luka akibat demokrasi. Luka akibat sekulerisme. Luka akibat
sosialisme. Luka pedang, pisau dan sayatan melintang dan membujur sekujur tubuh
yang masih tertidur di kala masa yang belum begitu akur.
Sehabis menghadapkan muka dan hatiku kepada Dia dalam mi’raj indah penuh
untaian tasbih dan senandung yang melenakan kalbu dalam sholat Jum’at, aku
langsung bahu – membahu dengan Al-Islam yang ku taruh di teras masjid itu. Sekarang
kuambillah sahabatku tadi agar bisa lebih bermakna daripada hanya sekedar santai
duduk – duduk di teras masjid itu. Meski aslinya memang tujuan ku bawa
sahabatku itu ya untuk kusebarkan ke saudara – saudaraku se-iman. Hanya
menunggu itu semua terjadi, maka kutaruhlah mereka di atas teras penuh berkah. Selanjutnya
tugasku adalah bagian melempar tubuh penuh gores arti sang buletin tersebut
kepada darah merahku yang lebih dari darah dan dia atau mereka bertugas
membimbing orang – orang yang terkena panah dakwah untuk mengerti akan indahnya
kembali kepada keabadian Jannah yang telah dijanjikan oleh-Nya.
Cukup lama aku berdiri di sebuah pintu gerbang yang terbuat dari jeruji –
jeruji besi yang bisa digerakkan ke kiri dan ke kanan. Tentulah gerbangnya bisa
berjalan jika ada yang menggesernya, meski hanya digerakkan satu derajat. Aku
berdiri dengan kaki dan tangan yang siap berjuang hingga titik darah
penghabisan. Aku berdiri sekokoh karang di lautan lepas yang tidak pernah
beranjak pergi seperti halnya pintu gerbang di sebelahku. Aku berdiri di pintu
saat sang surya yang juga arti diriku tenggelam untuk sejenak mengistirahatkan
diri hingga besoknya bisa menaungi bumiku dan aku kembali dengan sinar
keperkasaannya. Aku berdiri. Ya, aku berdiri untuk melakukan tugas mulia. Tugas
untuk membangunkan umat yang terlelap. Tugas untuk menyadarkan umat yang
terdekap. Tugas untuk mengajak umat bangkit bersama – sama dengan ku mengarah
ke satu titik kejelasan arti. Arti aku dan semua di semesta. Arti aku dan semua
di jagad raya. Arti aku dan semua di ranah hampa.
Cukup lama aku berdiri dengan sahabat ku berbagi tugas mengarahkan orang –
orang agar jangan sampai tersesat di tengah jalan, padahal jalannya masih
panjang. Berjalannya kaki, melajunya sepeda motor dan mendesirnya mesin – mesin
mobil komersil dan non komersil menjadi saksi bisu akan bahu – membahunya aku
dan sahabatku dalam proses panjang penyadaran umat. Ya, menyadarkan umat untuk kembali.
Sengaja ku ulang – ulang terus kata - kata
menyadarkan, biar umat ini jadi semakin tambah terkena panah yang
kulancarkan. Semoga juga panahku tepat sasaran agar bisa segera menyembuhkan
rasa sakit umat yang telah kronis dan mengakar jauh hingga menyusup dan
merasuki setiap sel – sel darah mereka. Menembus sampai di celah antara darah
merah dan darah putih.
Hingga hampir habisnya perjuangan siang ini, tidak mengalahkan perjuanganku
untuk melanjutkan hidup dan mengakhirinya dengan sebuah kemenangan terbesar
yang pernah ada, aku masih dengan beberapa buletin yang tersisa di tangan
kiriku dengan semakin menipisnya oksigen orang – orang yang hendak kuarahkan ke
arah satu tujuan. Orang – orang semakin mengikis waktu yang tersedia hingga waktu
menjadi semakin sempit dan aku menjadi terjepit.
Aku tidak kehabisan akal. Toh aku memang diciptakan oleh Tuhanku dengan
kesempurnaan akal memang dan memang akalku diwajibkan untuk mengakali segala sesuatu
agar terlihat dan nampak berakal. Tentulah tetap berakal yang dikehendaki Sang
Pembuat akal. Aku mengerahkan tenaga ekstra dan kuayunkan kakiku untuk berjalan
menyusuri teras – teras di sepanjang teras masjid tersebut agar sahabatku bisa
kuserahkan ke tangan orang – orang yang tepat. Aku berjalan sendirian. Aku
berjalan dengan keyakinan. Aku berjalan dengan kemantapan.
Akhirnya, amanah telah selesai dilaksanakan. Laporan selesai !!! seperti
yang sering kuucapkan untuk kuajarkan kepada anak – anakku di sekolah saat
mengajari mereka bagaimana cara menyiapkan dan laporan dengan benar ketika
upacara bendera. Meski tentulah upacaranya hanya sebatas tuntutan profesi dan tidak
pernah terbersit sekalipun dalam mimpi dan kehidupan nyata untuk benar – benar
tenggelam di dalamnya. Memang dulu aku pernah dan sempat tenggelam, bahkan
terlalu dalam sampai – sampai aku seakan – akan tidak bisa lagi ke permukaan
yang datar. Tapi untunglah aku sekarang sudah selamat karena ada yang
menyelamatkan dan memberiku pelampung agar bisa berenang ke tepian pantai
tujuan terakhirku dalam menghabiskan nafas yang penuh pertanyaan. Tentu juga
atas takdir-Nya lah aku bisa berdiri di jalan ini. Ya, jalan yang dulu ditempuh
oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Jalan yang dulu dilewati para pengikut
Rasulullah dan orang – orang shalih. Jalan yang penuh dengan lika –liku dan
kerikil – kerikil tajam yang bisa melukai setiap kaki yang melangkah dengan
keyakinan. Tapi tetap, asalkan yakin telah ada dalam diri, batu dan duri
setajam pedang baja pun sanggup terlalui dengan penuh ambisi untuk menggapai
cinta tertinggi. Lagi – lagi cinta tertinggi dengan segala kenikmatan Jannah
dan keridlaan-Nya di dalamnya.......................
Kembalilah aku lengkap dengan jiwa dan raga yang masih menempel erat di
sukma tanpa hijab yang nyata. Aku dengan penuh senyum kemenangan, ya meski hanya
untuk sementara waktu. Aku yang terlalu kecil sekecil inti atom jika
dibandingkan dengan tinta ke-MAHA-an-Nya. Aku yang senantiasa berpikir seribu
kali untuk menjebloskan diriku sendiri dengan sadar sesadar – sadarnya ke dalam
jilatan bara jahannam di akhir kehidupan yang terasa begitu mencekam.
Aku kembali. Kembali ke musholla kecilku untuk merebahkan tubuh yang
terlanjur mau kaku dan membekukan diri di dalam sari pati yang murni. Ku
merebah bersama tangan menengadah ke arah Sempurna Tanpa Cela sambil
bermandikan syukur tak terhingga setelah berjuang selelah dan sepayah keluh
kesah menorehkan karya berharga penuh makna dan semoga bisa mewarna dunia agar
terlihat lebih cerah tak bernanah dan bernoda kotor polusi dimana – mana.
Aku kembali. Kembali menunggu lagi seperti aktifitas menunggu sejak dari
tadi pagi untuk berjumpa dengan surga pertamaku nanti menjelang senja hendak
menutup pintu dan menguncinya rapat – rapat. Tanpa kata. Tanpa suara. Tanpa
meminta.
Aku kembali. Kembali menyusuri lorong – lorong setiap saraf –sarafku yang
masih berfungsi untuk kukembalikan ke Kembali yang sejati - jatinya. Kembali
bersama Rabb Penguasa Siang dan Malam. Kembali menemukan diri yang hilang.
Kembali berusaha membuka selimut tebal pencegah bersatunya hamba dan Sang
Kholik.
Ahhhhhhh, aku benar – benar kembali atau aku masih ingin kembali. Semoga
aku benar – benar bisa kembali ke peraduan semulaku kelak ketika hendak menutup
mata untuk selama – lamanya. Aku ingin berjumpa dengan Kekasihku. Aku ingin
bertemu dengan Rinduku. Aku ingin memegang kuat sekuat – kuatnya Sumber
Kekuatan Tak Berbatas Waktu.
Aku yang disini, selalu rindu akan hadir-Mu di sisi....I LOVE U !!
BalasHapus