Di
sore ini, setelah melewati sore – sore yang terlalu lama, aku kembali dengan
sore ini. Sore yang aku telah terbangun dari tidurku secara sadar diri untuk
menidurkan diri yang terlalu ngantuk tak tertahan. Ku terlelap sejenak setelah
merebahkan diri seusai melaksanakan sholat jamaah dhuhur di sekolahan. Untuk
yang jamaah anak – anakku perempuan enak, sholatnya di dalam musholla yang
cukup luas lengkap dengan pancuran – pancuran yang airnya selalu memanggil –
manggil setiap jamaah yang ingin berwudhu disana. Kalau untuk jamaah anak –
anakku yang laki – laki sholatnya masih di ruang aula terbuka dengan beralas
tikar terpal dan beberapa karpet yang biasa digunakan di sekolahanku untuk
kegiatan anak – anak ketika istighosah Jumat pagi di tengah lapangan di dalam
kawasan sekolah. Lapangan itu biasa digunakan untuk upacara bendera setiap hari
Senin. Aku tertidur di aula. Tertidur dengan damai sedamai – damainya tanpa
berteman seorang pun dari setiap manusia yang ada disini.
Kamis
sore ketika terdengar suara – suara orang yang sedang adzan ashar, aku telah
terbangun lengkap dengan kedua biji mataku yang bisa terbuka dengan sempurna.
Langsung ku menuju kantor guru tempat aku biasa istirahat seusai mengajar anak
– anakku. Ya, profesiku seorang guru.
Untuk kapan? Untuk waktu yang tidak ditentukan. Mungkin sampai minggu ini,
bulan ini, tahun ini atau selamanya hingga mataku telah terpejam lagi. Bukan
untuk sementara, tapi untuk selama – selamanya. Ah.... aku gak tau. Jalani aja
semuanya sampai aku berhasil menuntaskan amanah yang masih tersisa.
Dengan
langsung menyambar notebook
tercintaku yang baru kulunasi dua bulan lalu, aku langsung menggoreskan tinta –
tinta keyboardku ke monitor tempat tulisan – tulisan
bergentayangan kesana dan kemari. Aku mencoba menatap sekeliling dan tidak ku
temukan apapun dan siapapun selain seorang satpam yang belum pulang dari
sekolahan karena dia ada lemburan. Dia sedang bernyanyi seenaknya tanpa
memerhatikan lagi suara – suara sumbang di sekelilingnya. Tanpa menggunakan
kunci – kunci dalam tangga nada, suara nyanyiannya terdengar sumbang sekali.
Tapi dia tetap menyanyi tanpa memperhatikan lagi suara – suara sumbang di
sekitarnya. Menyanyi dan terus bernyanyi tanpa ada bayang – bayang gaji yang
mendzolimi diri dan terus menghantui.
Ya,
di tengah gajian yang tidak terbayar sempurna, bahkan kurang dari lima puluh
persen dari total gajian semula yang juga terlalu sedikit dan jauh di bawah
standar Upah Minimum Regional atau UMR dan dibayarkan telat pula, dia terus
menyanyi. Menyanyi dan terus bernyanyi hingga hilang luka perih.
“Lagi
ngapain Pak Gus?”, sapaku mencoba
mencairkan suasana yang terlalu beku.
Tanpa
menjawab satu patah kata pun. Dia terus bernyanyi, menyanyi dan mengumumkan
pada dunia kalau nyanyiannya bisa menutup luka perih.
“Do re mi, mi re do, sol fa re, bla bla bla”.
Terdengar
bunyi yang tidak teratur keluar dari lubang tenggorokannya sehingga tidak
menghasilkan resonansi yang terukur
betul. Yang penting bernyanyi dan menyanyi hingga hilang luka perih. Sebenarnya
bukan itu juga nyanyiannya, tapi saking
gak enaknya (meski aku menilainya hanya dalam hati) dan amburadulnya suara
– suara itu, sehingga aku tidak hafal apa yang dinyanyikannya. Mungkin itu juga
bukan nyanyian, hanya suara – suara yang sengaja dikeluarkan untuk mengusir
kebosanan.
Sendiriku
di kantor guru yang penuh buku – buku yang penuh lirikan tajam penuh tatapan
penuh kemesraan. Aku duduk termenung dan melabuhkan lamunanku di tepian mimpi –
mimpi terindahku. Aku duduk di atas kursi yang gelisah tepat di belakang meja
piket pas di sebelah pintu kantor.
Tidak ada seorang manusia pun yang hidup disini. Memang sore hari, semua orang
sudah pulang setelah check lock pakai
finger print di kantor TU yang
jaraknya cukup dekat dari sini. Hanya berjarak kira – kira dua puluh meter dan
saling berhadap – hadapan tanpa kebencian di dalamnya.
Aku
sendirian, lagi – lagi aku sendirian. Hanya ditemani oleh suara – suara sumbang
dari bapak satpam yang tidak peduli lagi ada suara – suara sumbang yang ingin
menilai suaranya yang sumbang. Suaranya menjadi lebih sumbang terdengar di
telinga setelah dia tidak peduli akan suara – suara sumbang di sekitarnya. Aku
pun terpaksa ikut berdendang jauh di dalam lubuk hatiku yang terdalam ketika
mendengarkan lagu sumbang dari bapak satpam yang terus mengeluarkan suara
dengan cukup kencang.
Namanya
Pak Abdurrahman atau dipanggil Gus Dur. Tapi aku lebih suka memanggilnya Pak
Gus. Orangnya bersahabat, penuh kehangatan dan kasih sayang di setiap
penampilannya yang selalu bersinar terang. Memang kau kira orang bisa bersinar
terang jika dia punya mobil mewah dan rumah megah? Memang kau kira orang bisa
bersinar terang jika dia memakai sepatu yang mengkilat dan jas berdasi yang
hitam pekat? Tidak. Kuulangi jawabanku tidak.
Bukan
itu yang bisa membuat orang bersinar terang seterang bintang – gemintang di
langit kelam yang sedang memberikan senyumannya pada hitamnya malam. Bukan itu
juga yang bisa membuat orang menjadi tampak lebih berwibawa dan bermartabat.
Bukan. Bukan semua itu. Bukan dunia. Bukan harta. Bukan tahta. Bukan wanita.
Bukan semua. Tapi lebih dari semua itu. Hanya perasaan rendah hati yang dibalut
akhlak terpuji untuk mengamalkan dengan ikhlas seikhlas – seikhlasnya dan benar
sebenar – benarnya semua ajaran Ilahi
lah yang bisa membedakan manusia bejat, laknat, khianat, bermanfaat dan
bermartabat.
Kembali
ke Pak Gus yang telah kuceritakan. Dia orangnya gak macam – macam. Bahkan sepeda motor aja dia gak punya. Entah
karena gak punya uang atau memang dia
kurang beruang aku gak tau. Tapi yang
jelas dalam kesehariannya dia selalu rendah hati dan selalu senyum. Tidak lupa
juga dia selalu menyanyi di setiap kesempatan yang luang untuk hanya sekedar
bisa menghibur diri tanpa menghiraukan suara – suara sumbang yang ada di
sekitarnya. Dengan hanya memakai sepeda motor butut Yamaha 80 berwarna merah dan warnanya sudah banyak yang
luntur dan besinya mulai berkarat pula dengan nomor polisi W 3487 HI inventaris
milik sekolahan, dia setiap harinya selalu menyusuri jalan – jalan dan gang -
gang sempit untuk melaksanakan tugasnya. Tugas mulia. Tugas yang tidak kalah
penting dari tugas untuk mendidik anak – anak bangsa dan mencerdaskan generasi
– generasi muda. Tugas itu. Hampir sama dengan tugasku juga.
Tugas
untuk menjaga seluruh keamanan sekolah dan ketertiban anak – anakku semua.
Tugas untuk menjaga stabilitas politik tetap kondusif meski di tengah kehidupan yang opportunis. Tugas untuk mengatur sepeda – sepeda pancal anak – anakku yang berserakan di
lapangan parkir sekolah. Tugas untuk memastikan semua tamu – tamu yang hendak
masuk ke sekolahan bisa benar – benar dipastikan mereka orang baik – baik dan
tidak akan berbuat macam – macam. Tugas untuk menyeberangkan mereka mulai dari
mau memasuki sekolahan sampai sudah mau meninggalkannya.
Memang
sekolahan tempatku mengajar berada si sebelah jalan raya, meski bukan jalan
utama sich, namun tetap saja ramai
penuh kendaraan yang mengejar waktu – waktu yang terus berlari semakin cepat
hari demi hari. Apalagi kalau jam sudah menunjukkan pukul 06.30 – 07.00, huhh jalanan serasa mulai penuh sesak
dan tidak bisa bernafas dengan bebas karena terhimpit dan terjepit kendaraan –
kendaraan yang saling berlarian tanpa mengenal lagi rasa lelah. Sama juga
keadaannya jika sudah siang datang menjelang. Terlalu ramai sepeda – sepeda pancal dan motor saling balap di area
jalanan yang tidak terlalu besar. Saat itu aku siap – siap mengantarkan anak –
anakku untuk pulang kembali ke rumah tercintanya dan bertemu dengan orang tua
kandungnya masing – masing.
Memang
aku bukan orang tuanya? Bukan. Aku adalah guru mereka yang juga bertindak
layaknya kedua orang tua mereka. Hanya bedanya aku tidak bisa memberi mereka
semua uang dan semua kasih sayang yang telah diberikan oleh orang tua kandung
mereka. Aku hanya bisa memberikan perhatian yang tulus dari hatiku yang paling
dalam. Aku hanya bisa memberikan ilmu yang sebenarnya juga tidak seberapa dan
itupun ilmu pemberian dari Tuhanku yang diberikan secara gratis kepadaku untuk
ditularkan kepada mereka. Aku hanya bisa mengingatkan mereka jika mereka telah
keluar dari jalur Al-Haaq dan segera
ku kembalikan ke track semula. Aku
hanya bisa memarahi mereka dengan penuh kecintaan jika mereka telah sulit
dikembalikan ke jalan yang benar. Aku hanya bisa itu. Tidak lebih.
Tapi
aku ingin menjadi orang tua mereka. Orang tua terbaik bahkan. Aku ingin menjadi
orang tua mereka. Orang tua yang sangat peduli bahkan. Aku ingin menjadi guru
sekaligus orang tua terbaik bagi murid – muridku. Aku juga ingin menjadi guru
sekaligus sahabat terbaik bagi mereka. Aku ingin menyaksikan setiap tumbuh
kembang masing – masing dari mereka dengan mata kepalaku sendiri. Baik
pertumbuhan fisiknya atau pertumbuhan psikisnya. Aku ingin memastikan setiap
anak – anakku mendapatkan perhatian yang sama. Aku ingin semua anak – anakku
sukses dunianya dan juga kehidupan setelahnya. Aku ingin semua anak – anakku
juga bisa memahami arti perjuanganku ini. Aku ingin semua anak – anakku bisa
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari garda terdepan perjuanganku ini. Aku
ingin semua anak – anakku bisa dipertemukan lagi denganku kelak setelah aku dan
mereka telah memejamkan mata untuk selama - lamanya dalam kematian nan indah.
Aku ingin berkumpul kembali dengan mereka di jannah-Nya dengan sebelumnya bisa berkumpul bersama – sama di bawah
panji – panji kehormatan Sang Pemimpin Tertinggi Revolusi Dunia, Muhammad SAW
karena perjuangan ini. Aku ingin sekali mendekap dan memeluk tubuh setiap anak
– anakku tanpa ketinggalan satu pun, meski tanganku hanya dua. Aku ingin sekali
mengangkat mereka ke tempat tertinggi peradaban dengan mengajari mereka
bagaimana caranya menuntaskan visi tertinggi kehidupan ini dengan melakukan
perjuangan tertinggi bersama orang – orang yang mempunyai kedudukan tertinggi
di sisi Tuhanku, Allah SWT.
Masih
di ruang guru dengan berteman seorang bapak satpam yang menurutku sangat luar
biasa dan masih menggoreskan tinta – tinta kesejatian diri untuk menghasilkan
sebuah karya yang bisa hidup dan bisa menginspirasi semua orang. Masih tinggal
beberapa menit lagi sebelum kaki – kaki kecilku melangkah penuh keyakinan untuk
segera kembali juga ke istana ternyamanku bersama orang – orang yang ku cintai.
Aku masih ingin menyelesaikan naskah karyaku ini. Aku belum tau apa yang akan ku gores. Aku mau membuat puisi, cerpen atau
novel. Entah membuat karya fiksi atau non fiksi. Entah membuat karya dengan
gaya bahasa tingkat tinggi atau gaya bahasa biasa – biasa saja. Aku gak tau. Yang penting aku harus bisa
membuat minimal satu karya berharga dalam hidup ini. Yang penting aku harus
bisa berkarya – berkarya dan terus berkarya sebelum ajal menjemput di depan
mata.
Inginkah
aku jika kelak telah meninggalkan dunia yang fana ini aku dilupakan begitu saja
oleh manusia ? Inginkan aku jika mata telah terpejam sempurna aku tidak
mempunyai karya barang satu karya pun ? Inginkah aku jika raga telah terpendam
jauh di tanah – tanah hitam aku sudah tidak bisa memberi air kehidupan kepada
orang – orang yang ku sayangi ? inginkah aku ? Tentu tidak. Aku ingin menjadi
seperti harimau yang jika mati dia akan meninggalkan belangnya. Aku ingin
menjadi seekor gajah yang jika mati dia akan meninggalkan gadingnya. Aku ingin
menjadi hiu – hiu di lautan lepas yang jika mati mereka akan meninggalkan sirip
– sirip yang penuh manfaat. Aku ingin seperti itu. Aku ingin menjadi pribadi
yang bisa memberikan kemanfaatan kepada alam ini, baik waktu aku masih bisa
bernafas dengan bebas atau setelah aku tidak bisa lagi bernafas dengan lepas.
“La la la, sya la la la
la la, he he” terdengar lagi bunyi suara itu memecah
kebuntuan otakku yang terhalang tembok kedangkalan berpikir.
“Ada
apa Den?” kata Pak Gus.
“Oh
tidak ada apa – apa Pak Gus”.
“Ini
hanya mau membuat satu karya Pak Gus”.
“Karya opo to Den ?”.
“Gak tau juga
Pak Gus”.
“Gak dicari Den sama istrinya ?”
“Oh
engga’ Pak, saya belum beristri, dia yang
dulu pernah ada di angan kini telah jadi milik orang”
“Oh gitu ya, maaf lho Den”
“Ya Pak Gus, gak pa pa”
Den
Bagus, itulah panggilan Pak Gus kepadaku. Ya, nama panggilanku Bagus. Lebih
tepatnya Bagus Cahyo Purnomo. Aku dibesarkan dari keluarga yang sangat luar
biasa. Dibesarkan dengan kasih sayang utuh sosok seorang ayah yang hebat dan
ibu yang sangat sayang dan perhatian. Ayahku lebih banyak di rumah karena
pekerjaannya yang seorang pedagang tempe mengharuskan beliau untuk di pasar
memasarkan barangnya hanya setengah hari saja. Sisanya beliau selalu di rumah
kami tercinta. Pekerjaan membuat tempe dilakukan berdua dengan ibuku di rumah
saja. Sesekali aku membantu mereka dalam proses pembuatannya. Tapi ya tidak
secara penuh karena aku juga punya amanah sendiri. Kalau ibuku yang paling ku
sayang, beliau hanya sebagai ibu rumah
tangga. Meski beliau hanya seorang ibu rumah tangga, aku bangga dengan beliau.
Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang sangat mulia. Bahkan
semua pekerjaan ibu – ibu yang meniti karir dimana – mana dan menduduki posisi
bermacam – macam, masih kalah jauh dengan posisi seorang ibu tangga. Tau
kenapa? Hanya orang – orang yang berjiwa besar dan mengerti akan kedudukan dan
posisi saja lah yang mau setelah menikah hanya berdiam diri di rumah saja untuk
menjaga harta suami, mengurus keuangan rumah tangga dan segala tetek – bengeknya dan juga mengurus
penuh 24 jam semua kebutuhan suami dan anak – anaknya. Sungguh pengabdian dan
pengorbanan beliau sangat besar dan sangat berarti sekali di mataku.
Beliau
adalah orang yang terlalu baik ke aku. Beliau adalah orang yang sangat membekas
di hatiku yang rapuh ini. Beliau bahkan rela tidak tidur hanya untuk menunggu
aku yang pulang kemalaman waktu aku dulu masih memakai seragam abu – abu putih
dan aktif di kegiatan – kegiatan OSIS, Pramuka, Teater atau kegiatan – kegiatan
siswa lainnya. Ah,,, sungguh kasihan ibuku ketika mengingat – ingat riwayat
beliau dulu ketika masih bisa memelukku erat – erat di dunia ini. Kini, semua
itu hanyalah tinggal kenangan. Sejak kelulusanku dari SMA tahun 2006, aku telah
kehilangan sosok yang seperti malaikat bagiku. Aku telah kehilangan sosok yang
sangat sempurna bagiku. Aku telah kehilangan ibuku.
Sebenarnya
aku tidak mau terlarut dalam genangan air mata kesedihan sejak ibuku yang juga
orang nomor satu di dunia ini menurutku telah tiada. Aku tidak mau terhanyut
dan terseret banjir bandang kerapuhan hatiku. Aku tidak mau terjatuh ke
kubangan jurang keputusasaan. Aku tidak mau. Aku harus kuat. Aku harus bisa
menghadapi semua ombak – ombak ganas di lautan lepas. Aku adalah karang yang
berdiri kokoh di tengah terjangan gelombang tsunami.
Aku adalah aku dan aku bisa! Toh juga ibuku mengajariku untuk tidak cengeng dalam hidup ini. Mengajari aku
bagaimana menghadapi semua cobaan dan ujian hidup dengan senyuman. Mengajari
dan membiasakan aku untuk bisa bersabar dan bertawakkal hanya kepada-Nya jika aku dirundung duka lara.
Setelah
setahun ibuku tiada, ayahku telah menemukan bidadari dunianya lagi. Seorang
wanita yang akan menjadi ibuku yang baru. Seorang wanita yang akan mengganti
kedudukan mulia ibu kandungku. Seorang wanita yang aku juga harus menghormati
beliau seperti ibuku sendiri. Aku tidak boleh membedakan cara menghormati
beliau dengan cara menghormati ibu kandungku. Toh beliau juga sangat luar biasa menurutku. Meski tetap tiada yang
bisa menggantikan kemuliaan ibu kandungku di hati terdalamku.
Ku
lihat jam di hp kecilku menunjukkan sudah pukul 17.30 WIB. Pak Gus juga sudah
tidak terdengar lagi suara sumbangnya. Suasana di sekolahan menjadi semakin
hening dan kesunyian mulai merasuki setiap relung – relung hati. Ku matikanlah notebookku meski naskahku belum jadi.
Aku melangkah keluar kantor dan berpamitan kepada bapak tukang kebun yang baru
datang untuk jaga malam dan bersiap untuk pulang ke istana ternyamanku .........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar