Asy
Syaikh Atho’ Abu Rusytah - seorang ulama timur tengah, pemimpin partai politik
Islam internasional - ditanya seputar masalah gambar oleh seorang pemuda,
pertanyaannya sebagai berikut:
Saya
menjalani profesi yang berkaitan dengan gambar. Melalui profesi yang saya
tekuni itu saya bersentuhan dengan beberapa aktivitas berikut:
1.
Memodivikasi
gambar dan mengoreksinya (seperti menghilangkan keriput, mengganti warna mata
atau beberapa fitur wajah, dan sebagainya)
2.
Menggambar
lukisan manusia atau hewan-hewan yang menyerupai kenyataan
3.
Mencetak
lukisan dan gambar yang sudah jadi
4.
Menggunakan
lukisan, gambar atau logo yang dibuat oleh desainer lainnya, tidak saya lukis
sendiri
5.
Menggambar
simbol berupa manusia atau hewan (contohnya rambu-rambu di jalan seperti
“tempat penyeberangan”, “pintu darurat saat kebakaran” atau “dilarang berjalan
bersama anjing”)
6.
Menggambar
bagian badan manusia atau binatang (sebagai contoh menggambar tangan yang
bersalaman, jari telunjuk atau kepala kuda sebagai gambar logo)
7.
Menggambar
lukisan manusia atau hewan yang tidak menyerupai kenyataan (karikatur)
8.
Menggambar
tokoh cerita imajiner yang tidak ada dalam kenyataan
Saya
mengharapkan penjelasan hukum syara’ mengenai aktivitas-aktivitas tersebut, wa
barakaLlaahu fiikum!
Jawaban
Asy Syaikh Abu Rusytah sebagai berikut:
Sebelum
sampai pada jawaban atas pertanyaan di atas, terlebih dahulu kami ingin
menegaskan dua hal berikut:
Yang pertama: bahwa jawaban
ini membahas tentang hukum syara’ atas perbuatan melukis, atau menggambar
dengan tangan, sebagaimana makna yang dikehendaki di dalam hadits, bukan
menghasilkan gambar dengan kamera. Adapun mengambil gambar dengan kamera maka
hukumnya mubah karena hadits yang ada tidak bisa diterapkan terhadap perbuatan
tersebut.
Yang kedua: Bahwa jawaban
ini membahas tentang hukum syara’ atas gambar datar dua dimensi yang tidak
memiliki bayangan. Adapun membuat karya yang memiliki bayangan, atau patung,
maka dia haram dalam segenap kondisinya karena adanya dalil-dalil syara’
mengenai hal tersebut, dengan pengecualian mainan anak-anak karena adanya dalil
yang membolehkannya, sebagaimana nanti akan dijelaskan pada akhir
jawaban.
Terkait dengan dua pertanyaan:
a)
Memodivikasi
gambar dan mengoreksinya (seperti menghilangkan keriput, mengganti warna mata
atau beberapa fitur wajah, dan sebagainya)
b)
Menggambar
lukisan manusia atau hewan-hewan yang menyerupai kenyataan
Sesungguhnya
dua pertanyaan ini berkaitan dengan menggambar sesuatu yang memiliki nyawa
(ruh), atau melakukan editing terhadap gambar makhluq bernyawa dengan
menggunakan tangan seperti menghilangkan keriput atau beberapa ciri di wajah.
Dengan demikian, pengharaman yang terdapat dalam dalil-dalil syara’ dapat
diterapkan dalam kasus ini, sama saja apakah hal tersebut dilakukan dengan
pena, dengan mouse di computer, selama pekerjaan menggambar itu dilakukan oleh
tangan manusia terhadap makhluq yang bernyawa, maka keharaman yang ada pada
dalil berlaku atas aktivitas tersebut. Al Bukhori mengeluarkan sebuah hadits
dari Ibnu Abbas –Allah meridhoi keduanya- yang berkata: “Rasulullaah shollallaahu
‘alaihi wa sallama bersabda : “barang siapa melukis suatu gambar maka Allah
akan mengadzabnya sampai dia mampu meniupkan ruh ke dalam gambar itu, padahal
sampai kapan pun dia tidak akan mampu meniupkan ruh ke dalamnya”. Al
Bukhori juga mengeluarkan hadits dari jalan Ibnu Umar –semoga Allah meridhoi
keduanya- bahwa Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
,”sesungguhnya orang yang telah membuat gambar ini akan disiksa pada hari
kiamat, dan dikatakan kepada mereka “coba hidupkanlah apa yang telah kalian
ciptakan!”.
Mengenai dua pertanyaan:
a)
Mencetak
lukisan dan gambar yang sudah jadi
b)
Menggunakan
lukisan, gambar atau logo yang dibuat oleh desainer lainnya, tidak saya lukis
sendiri
Dengan
kata lain, penanya mengambilnya dari orang lain, tidak menggambarnya sendiri.
Dengan demikian, di sini berlaku hukum menggunakan gambar. Dalam hal ini
terdapat tiga macam hukum:
Pertama: Apabila anda
mengambil gambar itu untuk diletakkan di tempat-tempat ibadah, seperti tempat
sujud untuk sholat, atau tirai masjid, iklan (di’aayah) atau pengumuman
(i’laan) masjid dan semacamnya, maka itu haram, tidak dibolehkan. Dalilnya
adalah:
Hadits
dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul shollallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak mau memasuki Ka’bah sehingga gambar-gambar di dalamnya dihapus. Penolakan
Rasul shollalaahu ‘alaihi wa sallam untuk memasuki Ka’bah sampai gambar-gambar
di dalamnya dihapus merupakan indikasi adanya larangan tegas untuk meletakkan
gambar di tempat-tempat ibadah, maka itu menjadi dalil atas haramnya menaruh
gambar di dalam masjid. Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallaahu ‘anhu : Bahwa Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak mau masuk ketika melihat gambar-gambar di dalam rumah –yaitu Ka’bah- ,
dan memerintahkan agar ia dihapus”.
Kedua: Adapun jika penanya
mengambil gambar yang tidak dia gambar sendiri untuk diletakkan di
tempat-tempat tertentu selain tempat ibadah, maka dalil-dalil syara’
menjelaskan bahwa itu dibolehkan –dengan disertai kemakruhan (dibenci oleh
syara’ –pent) jika gambar itu diambil dan diletakkan di tempat-tempat yang
mengandung penghormatan atau pemuliaan, seperti di rumah-rumah, media-media
informasi lembaga-lembaga kebudayaan, di kaos atau pakaian, di sekolah-sekolah,
di kantor-kantor, dan di tempat-tempat terbuka lain yang tidak ada kaitannya
dengan aktivitas ibadah, atau digantung di dalam kamar atau dikenakan dalam
rangka mempermanis penampilan, maka semua itu hukumnya dibenci (makruh).
Yang
mubah adalah jika gambar diletakkan bukan di tempat ibadah dan bukan tempat
yang “terhormat”, seperti karpet yang digelar di bawah, di atas kasur dimana
orang tidur di atasnya, atau di bantal yang digunakan untuk bersandar, atau
gambar yang ada di lantai yang diinjak-injak dan yang semisalnya, maka semua tu
hukumnya mubah. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:
Hadits
dari Abu Tholhah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafadz : aku
mendengar Raulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ““Malaikat tidak
masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.”; Dalam sebuah
riwayat dari sebuah jalan yang diriwayatkan oleh Imam Muslim beliau bersabda
“kecuali gambar yang ada di pakaian” Ini menunjukkan adanya pengecualian
terhadap gambar yang ada di pakaian, atau gambar yang dilukis.
Ini
menunjukkan bahwa gambar dua dimensi seperti gambar yang dilukis di pakaian
hukumnya boleh, Sebab malaikat bersedia memasuki rumah yang di dalamnya
terdapat gambar dua dimensi. Akan tetapi ada pula hadits-hadits lain yang
menjelaskan jenis kemubahan ini:
Hadits
dari Aisyah Radiyallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al Bukhori, ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menuju saya sementara di dalam
rumah terdapat tirai tipis bergambar, maka warna wajah beliau berubah, kemudian
mengambil tirai itu dan merobeknya”
Qirom (kain
tipis) merupakan salah satu jenis pakaian yang biasa dipasang sebagai penutup
pintu di dalam rumah, hal itu membuat rona wajah Rasulullaah shollallaahu
‘alaihi wa sallam berubah (marah) kemudian melepas tirai tersebut. Ini
menunjukkan adanya contoh untuk meninggalkan perbuatan memasang tirai sebagai
penutup pintu apabila ia bergambar. Apabila hadits ini dikaitkan dengan
kebolehan malaikat untuk memasuki rumah yang didalamnya terdapat gambar yang
terlukis di pakaian, maka hal tersebut menunjukkan bahwa larangan untuk
memajang gambar dua dimensi itu tidak tegas, atau sekedar dibenci (makruuh),
dan juga karena gambar tersebut dipasang sebagai penutup pintu, sedang pintu
adalah tempat yang terhormat, dengan demikian, memasang gambar di tempat yang
terhormat adalah makruh.
Hadits
dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, dari
perkataan Jibril ‘alaihis salaam kepada Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa
sallam : “perintahkanlah agar tabir tersebut dipotong dan dijadikan dua
bantal yang diinjak,”. Dengan demikian, Jibril ‘alaihis salam telah
memerintahkan kepada rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam untuk
menghilangkan tirai bergambar dari tempat yang terhormat, dan agar ia dijadikan
sebagai dua bantal yang diinjak. Ini berarti, menggunakan gambar yang digambar
oleh orang lain di tempat-tempat yang tidak dihormati adalah boleh.
Terkait dengan dua pertanyaan:
a)
Menggambar
simbol berupa manusia atau hewan (contohnya rambu-rambu di jalan seperti
“tempat penyeberangan”, “pintu darurat saat kebakaran” atau “dilarang berjalan
bersama anjing”)
b)
Menggambar
bagian badan manusia atau binatang (sebagai contoh menggambar tangan yang
bersalaman, jari telunjuk atau kepala kuda sebagai gambar logo)
Apabila
tanda yang dilukis menggambarkan makhluq bernyawa maka dia haram, sebab
hadits-hadits mengharamkan gambar yang menunjukkan adanya sifat memiliki ruh
(nyawa). Sifat ini dapat diterapkan kepada setiap gambar makhluq secara utuh
maupun, separuh saja, gambar kepala yang disambung dengan bagian tubuh lain
seperti kedua tangan dan semisalnya.
Adapun
apabila tanda (rambu) nya tidak menunjukkan adanya nyawa, seperti tangan saja,
atau gambar jari yang menunjuk kepada sesuatu atau dua tangan yang saling
bersalaman atau yang semisalnya, maka keharaman tidak bisa diterapkan
terhadapnya.
Adapun
gambar kepala yang tidak digabung dengan angggota badang yang lain, maka dalam
hal ini terdapat perbedaan pendapat. Dan yang paling kuat adalah bahwa kepala
saja yang tidak digabung dengan bagian tubuh lain adalah tidak haram. Itu
karena ada hadits yang membolehkan untuk memotong kepada patung sehingga tersisa
seperti pohon, seperti halnya hadits Abu Hurairah ra. Yang di dalamnya terdapat
perkataan Jibril alaihis salam kepada Rasulullah shollalallaahu ‘alaihi wa
sallam bahwa patung itu tidak lagi haram ketika kepalanya dipotong.
..”.. Maka perintahkanlah agar kepala patung tersebut dipotong dan dibuat
seperti bentuk pohon..” dikeluarkan oleh Ahmad. Hadits ini berarti bahwa
sisa patung dan kepalanya ketika telah dipotong sama-sama tidak haram.
Dan ini tidak berarti bahwa yang tidak diharamkan adalah badan patung yang
kepalanya sudah terpotong, sedangkan kepala yang terpotong tetap haram. Tidak
demikian karena perintah Jibril kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa
sallam untuk memotong kepala patung menunjukkan bahwa pemotongan itu hukumnya
boleh. Dengan demikian, segala hal yang menjadi konsekuensinya/ikutannya adalah
boleh.
Dan
haram diketahui, bahwa Hanabilah (hambaliyah) dan Malikiyah membolehkan kepala
saja, sedangkan Syafi’iyyah mengalami perbedaan pendapat. Sebagian besar ahli
fiqh syafiiyyah menyatakan bahwa gambar kepala saja adalah haram, sementara
yang lain membolehkannya.
Adapun terkait dengan dua soal yang
terakhir:
a)
Menggambar
lukisan manusia atau hewan yang tidak menyerupai kenyataan (karikatur)
b)
Menggambar
tokoh cerita imajiner yang tidak ada dalam kenyataan
Jawabnya
adalah bahwa sesungguhnya selama gambar itu menunjukkan adanya ruh (nyawa)
meskipun tidak ada persamaannya di dalam kenyataan, itu tetap haram. Sebab,
nash-nash syara’ dapat diterapkan terhadap kasus tersebut. Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan Aisyah rodhiyallaahu ‘anhaa
untuk melepas tirai yang terpasang di pintu yang bergambar kuda yang memiliki
sayap. Padahal dalam kenyataannya tidak ada kuda yang memiliki sayap.
Iamam
Muslim mengeluarkan hadits dari Aisyah rodhiyallaahu ‘anhaa, dia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari safar sementara aku
menutupi pintuku dengan durnuk yang terdapat gambar kuda-kuda yg memiliki
sayap. Maka beliau memerintahkan aku utk mencabut tabir tersebut maka akupun
melepasnya” sementara durnuk merupakan salah satu jenis pakaian.
Kemudian,
saya hendak mengulang kembali apa yang telah saya ungkapkan di awal, bahwa
gambar yang diharamkan adalah gambar yang tidak diperuntukkan bagi anak-anak.
Adapun jika diperuntukkan bagi anak-anak, seperti gambar karikatur untuk
anak-anak, atau gambar tokoh imajiner untuk anak-anak, untuk permainan atau
hiburan mereka, atau untuk pendidikan mereka. Semua itu hukumnya boleh karena
adanya dalil yang menyebutkan hal tersebut:
Abu
Dawud mengeluarkan hadits dari Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa, dia
berkata: Suatu hari Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam- pulang dari
perang tabuk atau perang khoibar. (Saat itu) lemari kecil Aisyah tertutup
tirai, lalu berhembuslah angin, yang menyingkap tirai itu, sehingga terlihatlah
banyak mainan boneka wanita milik Aisyah. Beliau bertanya: “Apa ini, wahai
Aisyah?”, ia menjawab: “Anak-anak perempuanku”.
Hadits
Aisyah yang dikeluarkan oleh Al Bukhori, dia berkata, “aku bermain dengan
anak-anak perembuanku (boneka) di sisi Nabi shollallaahu ‘alaihi wa
sallam.. “ yaitu bermain dengan boneka berbentuk anak-anak perempuan.
Demikian
juga dengan hadits Ar Robii’ binti Ma’awwid Al Anshoriyyah rodhiyallaahu ‘anhaa
yang dikeluarkan oleh Al Bukhori dia berkata, “Kami berpuasa dan memerintahkan
anak-anak kecil kami berpuasa. Kami membuatkan mereka mainan dari bulu. Maka,
apabila mereka menangis karena lapar, kami berikan mainan itu kepadanya, sampai
tiba waktu berbuka”. Maksudnya, menghibur mereka dengan mainan, sampai tiba
waktu berbuka.
Semua
hadits itu membolehkan mainan anak-anak bahkan seandainya mainan itu berbentuk
patung makhluk yang memiliki nyawa. Atas dasar itu, merupakan hal yang lebih
utama jika gambar datar dua dimensi adalah boleh, bagaimana pun bentuknya.
----------YAKINI,
KEJAR, DAPATKAN!!----------
SLM SUKSES!!
bagusbangil.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar