Selasa, 28 Agustus 2012

MENGALIR DALAM KEDAMAIAN HATI


Di sore ini, setelah melewati sore – sore yang terlalu lama, aku kembali dengan sore ini. Sore yang aku telah terbangun dari tidurku secara sadar diri untuk menidurkan diri yang terlalu ngantuk tak tertahan. Ku terlelap sejenak setelah merebahkan diri seusai melaksanakan sholat jamaah dhuhur di sekolahan. Untuk yang jamaah anak – anakku perempuan enak, sholatnya di dalam musholla yang cukup luas lengkap dengan pancuran – pancuran yang airnya selalu memanggil – manggil setiap jamaah yang ingin berwudhu disana. Kalau untuk jamaah anak – anakku yang laki – laki sholatnya masih di ruang aula terbuka dengan beralas tikar terpal dan beberapa karpet yang biasa digunakan di sekolahanku untuk kegiatan anak – anak ketika istighosah Jumat pagi di tengah lapangan di dalam kawasan sekolah. Lapangan itu biasa digunakan untuk upacara bendera setiap hari Senin. Aku tertidur di aula. Tertidur dengan damai sedamai – damainya tanpa berteman seorang pun dari setiap manusia yang ada disini.
Kamis sore ketika terdengar suara – suara orang yang sedang adzan ashar, aku telah terbangun lengkap dengan kedua biji mataku yang bisa terbuka dengan sempurna. Langsung ku menuju kantor guru tempat aku biasa istirahat seusai mengajar anak – anakku. Ya,  profesiku seorang guru. Untuk kapan? Untuk waktu yang tidak ditentukan. Mungkin sampai minggu ini, bulan ini, tahun ini atau selamanya hingga mataku telah terpejam lagi. Bukan untuk sementara, tapi untuk selama – selamanya. Ah.... aku gak tau. Jalani aja semuanya sampai aku berhasil menuntaskan amanah yang masih tersisa.
Dengan langsung menyambar notebook tercintaku yang baru kulunasi dua bulan lalu, aku langsung menggoreskan tinta – tinta keyboardku ke monitor tempat tulisan – tulisan bergentayangan kesana dan kemari. Aku mencoba menatap sekeliling dan tidak ku temukan apapun dan siapapun selain seorang satpam yang belum pulang dari sekolahan karena dia ada lemburan. Dia sedang bernyanyi seenaknya tanpa memerhatikan lagi suara – suara sumbang di sekelilingnya. Tanpa menggunakan kunci – kunci dalam tangga nada, suara nyanyiannya terdengar sumbang sekali. Tapi dia tetap menyanyi tanpa memperhatikan lagi suara – suara sumbang di sekitarnya. Menyanyi dan terus bernyanyi tanpa ada bayang – bayang gaji yang mendzolimi diri dan terus menghantui.
Ya, di tengah gajian yang tidak terbayar sempurna, bahkan kurang dari lima puluh persen dari total gajian semula yang juga terlalu sedikit dan jauh di bawah standar Upah Minimum Regional atau UMR dan dibayarkan telat pula, dia terus menyanyi. Menyanyi dan terus bernyanyi hingga hilang luka perih.
“Lagi ngapain Pak Gus?”, sapaku mencoba mencairkan suasana yang terlalu beku.
Tanpa menjawab satu patah kata pun. Dia terus bernyanyi, menyanyi dan mengumumkan pada dunia kalau nyanyiannya bisa menutup luka perih.
Do re mi, mi re do, sol fa re, bla bla bla”.
Terdengar bunyi yang tidak teratur keluar dari lubang tenggorokannya sehingga tidak menghasilkan resonansi yang terukur betul. Yang penting bernyanyi dan menyanyi hingga hilang luka perih. Sebenarnya bukan itu juga nyanyiannya, tapi saking gak enaknya (meski aku menilainya hanya dalam hati) dan amburadulnya suara – suara itu, sehingga aku tidak hafal apa yang dinyanyikannya. Mungkin itu juga bukan nyanyian, hanya suara – suara yang sengaja dikeluarkan untuk mengusir kebosanan.
Sendiriku di kantor guru yang penuh buku – buku yang penuh lirikan tajam penuh tatapan penuh kemesraan. Aku duduk termenung dan melabuhkan lamunanku di tepian mimpi – mimpi terindahku. Aku duduk di atas kursi yang gelisah tepat di belakang meja piket pas di sebelah pintu kantor. Tidak ada seorang manusia pun yang hidup disini. Memang sore hari, semua orang sudah pulang setelah check lock pakai finger print di kantor TU yang jaraknya cukup dekat dari sini. Hanya berjarak kira – kira dua puluh meter dan saling berhadap – hadapan tanpa kebencian di dalamnya.
Aku sendirian, lagi – lagi aku sendirian. Hanya ditemani oleh suara – suara sumbang dari bapak satpam yang tidak peduli lagi ada suara – suara sumbang yang ingin menilai suaranya yang sumbang. Suaranya menjadi lebih sumbang terdengar di telinga setelah dia tidak peduli akan suara – suara sumbang di sekitarnya. Aku pun terpaksa ikut berdendang jauh di dalam lubuk hatiku yang terdalam ketika mendengarkan lagu sumbang dari bapak satpam yang terus mengeluarkan suara dengan cukup kencang.
Namanya Pak Abdurrahman atau dipanggil Gus Dur. Tapi aku lebih suka memanggilnya Pak Gus. Orangnya bersahabat, penuh kehangatan dan kasih sayang di setiap penampilannya yang selalu bersinar terang. Memang kau kira orang bisa bersinar terang jika dia punya mobil mewah dan rumah megah? Memang kau kira orang bisa bersinar terang jika dia memakai sepatu yang mengkilat dan jas berdasi yang hitam pekat? Tidak. Kuulangi jawabanku tidak.
Bukan itu yang bisa membuat orang bersinar terang seterang bintang – gemintang di langit kelam yang sedang memberikan senyumannya pada hitamnya malam. Bukan itu juga yang bisa membuat orang menjadi tampak lebih berwibawa dan bermartabat. Bukan. Bukan semua itu. Bukan dunia. Bukan harta. Bukan tahta. Bukan wanita. Bukan semua. Tapi lebih dari semua itu. Hanya perasaan rendah hati yang dibalut akhlak terpuji untuk mengamalkan dengan ikhlas seikhlas – seikhlasnya dan benar sebenar – benarnya semua ajaran Ilahi lah yang bisa membedakan manusia bejat, laknat, khianat, bermanfaat dan bermartabat.
Kembali ke Pak Gus yang telah kuceritakan. Dia orangnya gak macam – macam. Bahkan sepeda motor aja dia gak punya. Entah karena gak punya uang atau memang dia kurang beruang aku gak tau. Tapi yang jelas dalam kesehariannya dia selalu rendah hati dan selalu senyum. Tidak lupa juga dia selalu menyanyi di setiap kesempatan yang luang untuk hanya sekedar bisa menghibur diri tanpa menghiraukan suara – suara sumbang yang ada di sekitarnya. Dengan hanya memakai sepeda motor butut Yamaha 80 berwarna merah dan warnanya sudah banyak yang luntur dan besinya mulai berkarat pula dengan nomor polisi W 3487 HI inventaris milik sekolahan, dia setiap harinya selalu menyusuri jalan – jalan dan gang - gang sempit untuk melaksanakan tugasnya. Tugas mulia. Tugas yang tidak kalah penting dari tugas untuk mendidik anak – anak bangsa dan mencerdaskan generasi – generasi muda. Tugas itu. Hampir sama dengan tugasku juga.
Tugas untuk menjaga seluruh keamanan sekolah dan ketertiban anak – anakku semua. Tugas untuk menjaga stabilitas politik tetap kondusif meski di tengah kehidupan yang opportunis. Tugas untuk mengatur sepeda – sepeda pancal anak – anakku yang berserakan di lapangan parkir sekolah. Tugas untuk memastikan semua tamu – tamu yang hendak masuk ke sekolahan bisa benar – benar dipastikan mereka orang baik – baik dan tidak akan berbuat macam – macam. Tugas untuk menyeberangkan mereka mulai dari mau memasuki sekolahan sampai sudah mau meninggalkannya.
Memang sekolahan tempatku mengajar berada si sebelah jalan raya, meski bukan jalan utama sich, namun tetap saja ramai penuh kendaraan yang mengejar waktu – waktu yang terus berlari semakin cepat hari demi hari. Apalagi kalau jam sudah menunjukkan pukul 06.30 – 07.00, huhh jalanan serasa mulai penuh sesak dan tidak bisa bernafas dengan bebas karena terhimpit dan terjepit kendaraan – kendaraan yang saling berlarian tanpa mengenal lagi rasa lelah. Sama juga keadaannya jika sudah siang datang menjelang. Terlalu ramai sepeda – sepeda pancal dan motor saling balap di area jalanan yang tidak terlalu besar. Saat itu aku siap – siap mengantarkan anak – anakku untuk pulang kembali ke rumah tercintanya dan bertemu dengan orang tua kandungnya masing – masing.
Memang aku bukan orang tuanya? Bukan. Aku adalah guru mereka yang juga bertindak layaknya kedua orang tua mereka. Hanya bedanya aku tidak bisa memberi mereka semua uang dan semua kasih sayang yang telah diberikan oleh orang tua kandung mereka. Aku hanya bisa memberikan perhatian yang tulus dari hatiku yang paling dalam. Aku hanya bisa memberikan ilmu yang sebenarnya juga tidak seberapa dan itupun ilmu pemberian dari Tuhanku yang diberikan secara gratis kepadaku untuk ditularkan kepada mereka. Aku hanya bisa mengingatkan mereka jika mereka telah keluar dari jalur Al-Haaq dan segera ku kembalikan ke track semula. Aku hanya bisa memarahi mereka dengan penuh kecintaan jika mereka telah sulit dikembalikan ke jalan yang benar. Aku hanya bisa itu. Tidak lebih.
Tapi aku ingin menjadi orang tua mereka. Orang tua terbaik bahkan. Aku ingin menjadi orang tua mereka. Orang tua yang sangat peduli bahkan. Aku ingin menjadi guru sekaligus orang tua terbaik bagi murid – muridku. Aku juga ingin menjadi guru sekaligus sahabat terbaik bagi mereka. Aku ingin menyaksikan setiap tumbuh kembang masing – masing dari mereka dengan mata kepalaku sendiri. Baik pertumbuhan fisiknya atau pertumbuhan psikisnya. Aku ingin memastikan setiap anak – anakku mendapatkan perhatian yang sama. Aku ingin semua anak – anakku sukses dunianya dan juga kehidupan setelahnya. Aku ingin semua anak – anakku juga bisa memahami arti perjuanganku ini. Aku ingin semua anak – anakku bisa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari garda terdepan perjuanganku ini. Aku ingin semua anak – anakku bisa dipertemukan lagi denganku kelak setelah aku dan mereka telah memejamkan mata untuk selama - lamanya dalam kematian nan indah. Aku ingin berkumpul kembali dengan mereka di jannah-Nya dengan sebelumnya bisa berkumpul bersama – sama di bawah panji – panji kehormatan Sang Pemimpin Tertinggi Revolusi Dunia, Muhammad SAW karena perjuangan ini. Aku ingin sekali mendekap dan memeluk tubuh setiap anak – anakku tanpa ketinggalan satu pun, meski tanganku hanya dua. Aku ingin sekali mengangkat mereka ke tempat tertinggi peradaban dengan mengajari mereka bagaimana caranya menuntaskan visi tertinggi kehidupan ini dengan melakukan perjuangan tertinggi bersama orang – orang yang mempunyai kedudukan tertinggi di sisi Tuhanku, Allah SWT.
Masih di ruang guru dengan berteman seorang bapak satpam yang menurutku sangat luar biasa dan masih menggoreskan tinta – tinta kesejatian diri untuk menghasilkan sebuah karya yang bisa hidup dan bisa menginspirasi semua orang. Masih tinggal beberapa menit lagi sebelum kaki – kaki kecilku melangkah penuh keyakinan untuk segera kembali juga ke istana ternyamanku bersama orang – orang yang ku cintai. Aku masih ingin menyelesaikan naskah karyaku ini. Aku belum tau apa yang akan ku gores. Aku mau membuat puisi, cerpen atau novel. Entah membuat karya fiksi atau non fiksi. Entah membuat karya dengan gaya bahasa tingkat tinggi atau gaya bahasa biasa – biasa saja. Aku gak tau. Yang penting aku harus bisa membuat minimal satu karya berharga dalam hidup ini. Yang penting aku harus bisa berkarya – berkarya dan terus berkarya sebelum ajal menjemput di depan mata.
Inginkah aku jika kelak telah meninggalkan dunia yang fana ini aku dilupakan begitu saja oleh manusia ? Inginkan aku jika mata telah terpejam sempurna aku tidak mempunyai karya barang satu karya pun ? Inginkah aku jika raga telah terpendam jauh di tanah – tanah hitam aku sudah tidak bisa memberi air kehidupan kepada orang – orang yang ku sayangi ? inginkah aku ? Tentu tidak. Aku ingin menjadi seperti harimau yang jika mati dia akan meninggalkan belangnya. Aku ingin menjadi seekor gajah yang jika mati dia akan meninggalkan gadingnya. Aku ingin menjadi hiu – hiu di lautan lepas yang jika mati mereka akan meninggalkan sirip – sirip yang penuh manfaat. Aku ingin seperti itu. Aku ingin menjadi pribadi yang bisa memberikan kemanfaatan kepada alam ini, baik waktu aku masih bisa bernafas dengan bebas atau setelah aku tidak bisa lagi bernafas dengan lepas.
“La la la, sya la la la la la, he he” terdengar lagi bunyi suara itu memecah kebuntuan otakku yang terhalang tembok kedangkalan berpikir.
Ada apa Den?” kata Pak Gus.
Oh tidak ada apa – apa Pak Gus”.
Ini hanya mau membuat satu karya Pak Gus”.
Karya opo to Den ?”.
“Gak tau juga Pak Gus”.
“Gak dicari Den sama istrinya ?”
Oh engga’ Pak, saya belum beristri, dia yang dulu pernah ada di angan kini telah jadi milik orang
Oh gitu ya, maaf lho Den”
 “Ya Pak Gus, gak pa pa”
Den Bagus, itulah panggilan Pak Gus kepadaku. Ya, nama panggilanku Bagus. Lebih tepatnya Bagus Cahyo Purnomo. Aku dibesarkan dari keluarga yang sangat luar biasa. Dibesarkan dengan kasih sayang utuh sosok seorang ayah yang hebat dan ibu yang sangat sayang dan perhatian. Ayahku lebih banyak di rumah karena pekerjaannya yang seorang pedagang tempe mengharuskan beliau untuk di pasar memasarkan barangnya hanya setengah hari saja. Sisanya beliau selalu di rumah kami tercinta. Pekerjaan membuat tempe dilakukan berdua dengan ibuku di rumah saja. Sesekali aku membantu mereka dalam proses pembuatannya. Tapi ya tidak secara penuh karena aku juga punya amanah sendiri. Kalau ibuku yang paling ku sayang,  beliau hanya sebagai ibu rumah tangga. Meski beliau hanya seorang ibu rumah tangga, aku bangga dengan beliau. Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang sangat mulia. Bahkan semua pekerjaan ibu – ibu yang meniti karir dimana – mana dan menduduki posisi bermacam – macam, masih kalah jauh dengan posisi seorang ibu tangga. Tau kenapa? Hanya orang – orang yang berjiwa besar dan mengerti akan kedudukan dan posisi saja lah yang mau setelah menikah hanya berdiam diri di rumah saja untuk menjaga harta suami, mengurus keuangan rumah tangga dan segala tetek – bengeknya dan juga mengurus penuh 24 jam semua kebutuhan suami dan anak – anaknya. Sungguh pengabdian dan pengorbanan beliau sangat besar dan sangat berarti sekali di mataku.
Beliau adalah orang yang terlalu baik ke aku. Beliau adalah orang yang sangat membekas di hatiku yang rapuh ini. Beliau bahkan rela tidak tidur hanya untuk menunggu aku yang pulang kemalaman waktu aku dulu masih memakai seragam abu – abu putih dan aktif di kegiatan – kegiatan OSIS, Pramuka, Teater atau kegiatan – kegiatan siswa lainnya. Ah,,, sungguh kasihan ibuku ketika mengingat – ingat riwayat beliau dulu ketika masih bisa memelukku erat – erat di dunia ini. Kini, semua itu hanyalah tinggal kenangan. Sejak kelulusanku dari SMA tahun 2006, aku telah kehilangan sosok yang seperti malaikat bagiku. Aku telah kehilangan sosok yang sangat sempurna bagiku. Aku telah kehilangan ibuku.
Sebenarnya aku tidak mau terlarut dalam genangan air mata kesedihan sejak ibuku yang juga orang nomor satu di dunia ini menurutku telah tiada. Aku tidak mau terhanyut dan terseret banjir bandang kerapuhan hatiku. Aku tidak mau terjatuh ke kubangan jurang keputusasaan. Aku tidak mau. Aku harus kuat. Aku harus bisa menghadapi semua ombak – ombak ganas di lautan lepas. Aku adalah karang yang berdiri kokoh di tengah terjangan gelombang tsunami. Aku adalah aku dan aku bisa! Toh juga ibuku mengajariku untuk tidak cengeng dalam hidup ini. Mengajari aku bagaimana menghadapi semua cobaan dan ujian hidup dengan senyuman. Mengajari dan membiasakan aku untuk bisa bersabar dan bertawakkal hanya kepada-Nya jika aku dirundung duka lara.
Setelah setahun ibuku tiada, ayahku telah menemukan bidadari dunianya lagi. Seorang wanita yang akan menjadi ibuku yang baru. Seorang wanita yang akan mengganti kedudukan mulia ibu kandungku. Seorang wanita yang aku juga harus menghormati beliau seperti ibuku sendiri. Aku tidak boleh membedakan cara menghormati beliau dengan cara menghormati ibu kandungku. Toh beliau juga sangat luar biasa menurutku. Meski tetap tiada yang bisa menggantikan kemuliaan ibu kandungku di hati terdalamku.
Ku lihat jam di hp kecilku menunjukkan sudah pukul 17.30 WIB. Pak Gus juga sudah tidak terdengar lagi suara sumbangnya. Suasana di sekolahan menjadi semakin hening dan kesunyian mulai merasuki setiap relung – relung hati. Ku matikanlah notebookku meski naskahku belum jadi. Aku melangkah keluar kantor dan berpamitan kepada bapak tukang kebun yang baru datang untuk jaga malam dan bersiap untuk pulang ke istana ternyamanku .........


Tidak ada komentar:

Posting Komentar